Pelanggaran MoU Helsinki, Janji Damai yang Diingkari Pemerintah Indonesia

0

Foto TT abdul.ajis537

THE ATJEHNESE – Sudah 20 tahun Perjanjian Damai Helsinki 2005 digambarkan sebagai tonggak bersejarah yang menghentikan konflik puluhan tahun di Aceh. Namun dua dekade setelah penandatanganannya, publik Aceh masih mempertanyakan: siapa sebenarnya yang menikmati hasil damai itu? Dan mengapa butir-butir paling fundamental dalam perjanjian tersebut justru tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia?

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik, ia merupakan konsensus moral dan hukum yang seharusnya mengatur relasi baru antara Aceh dan Indonesia. Tetapi implementasi di lapangan menunjukkan pola pemangkasan, penundaan, hingga pengingkaran terhadap sejumlah poin krusial, sehingga menimbulkan kesan kuat bahwa negara hanya membutuhkan MoU untuk meredam konflik, bukan untuk menghormati substansi perjanjian.

BUTIR MOU YANG TIDAK DIREALISASIKAN INDONESIA SECARA UTUH

1. Bendera dan Lambang Aceh

Dalam MoU ditegaskan bahwa Aceh berhak memiliki bendera, lambang, dan himne sendiri.
Namun ketika Aceh menetapkan Bendera Bulan Bintang, pemerintah pusat menahannya dengan berbagai alasan politik dan keamanan.
Ini adalah bentuk pembelokan kesepakatan, karena MoU tidak pernah menyatakan bahwa bendera harus “disesuaikan” dengan kepentingan Jakarta.
Hasilnya: butir MoU tetap mandek, dan hak simbolik Aceh diperlakukan seolah-olah ancaman, bukan kesepakatan sah.

2. Pengelolaan Sumber Daya Alam 70:30

MoU menyepakati bahwa Aceh berhak mendapatkan 70% hasil pengelolaan sumber daya alam.
Secara praktik, banyak sektor—khususnya migas, pertambangan, dan hutan—tidak pernah sepenuhnya diserahkan kepada Aceh. Mekanisme pusat tetap dominan, izin dikuasai kementerian, dan kebijakan fiskal dibatasi oleh aturan pusat.
Hasilnya: Aceh hanya menerima bayangan dari perjanjian, sedangkan kontrol ekonomi tetap berada di Jakarta.

3. Penarikan Pasukan Non-Organik

MoU menyatakan bahwa pasukan non-organik harus ditarik dan jumlah aparat disesuaikan dengan kondisi damai.
Namun setelah bertahun-tahun, berbagai laporan masyarakat menunjukkan jumlah aparat tetap tinggi, dan sejumlah operasi “keamanan” masih berlangsung secara terselubung.
Hal ini menandakan gagalnya normalisasi keamanan sebagaimana dijanjikan MoU.

4. Peradilan HAM dan KKR Aceh

MoU menjanjikan:

  • pembentukan Pengadilan HAM Aceh,
  • Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Pengadilan HAM Aceh tidak pernah diwujudkan, padahal butir ini adalah jantung penyelesaian konflik.
KKR Aceh memang terbentuk, tetapi kewenangannya dibatasi, dan tidak ada dukungan politik dari pusat untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran HAM berat.

5. Reintegrasi, Tanah Eks-Kombatan, dan Pemberdayaan Ekonomi

Janji reintegrasi ekonomi sebagian besar berhenti pada seremonial. Banyak eks-kombatan, janda, dan yatim konflik yang masih hidup dalam kemiskinan.
Program tanah untuk eks-combatant pun tidak pernah berjalan sesuai rencana.
Ini bentuk pengingkaran pada aspek kemanusiaan dari MoU.

KEBODOHAN STRATEGIS DAN KESALAHAN POLITIK INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI MOU

Berikut beberapa kritik yang sering dilontarkan pengamat politik dan akademisi:

1. Menganggap MoU sebagai alat “meredam konflik”, bukan kontrak politik yang harus dipatuhi

Kesalahan terbesar adalah cara pandang negara yang menganggap MoU hanya sebagai alat taktis untuk menghentikan perang—bukan kesepakatan setara.
Akibatnya, begitu konflik mereda, komitmen terhadap MoU melemah.

2. Tidak memahami bahwa kepercayaan rakyat Aceh dibangun atas pemenuhan janji, bukan pengawasan aparat

Jakarta masih menggunakan pendekatan keamanan, bukan keadilan.
Ini adalah kebodohan historis: konflik Aceh dulu pun tak pernah selesai dengan pendekatan militer.

3. Ketakutan berlebihan terhadap simbol-simbol Aceh

Bendera Aceh diperlakukan seolah ancaman separatis.
Padahal, MoU secara jelas memberi hak tersebut. Sikap paranoid politik ini adalah kegagalan memahami psikologi rekonsiliasi.

4. Menjaga kontrol ekonomi Aceh melalui aturan pusat

Walaupun MoU memberi 70 persen pendapatan alam, mekanisme teknis dari pusat dibuat berlapis sehingga Aceh tetap berada dalam posisi subordinasi.
Ini mengindikasikan manipulasi kebijakan untuk menunda atau melemahkan MoU.

5. Membiarkan butir-butir HAM tidak berjalan karena takut membuka luka negara

Tidak dibentuknya Pengadilan HAM Aceh adalah bentuk ketakutan negara terhadap kebenaran sejarahnya sendiri.
Padahal rekonsiliasi tidak pernah lahir dari penguburan kebenaran.

TRIK KOTOR DALAM IMPLEMENTASI MOU

Beberapa analis menyebut adanya pola sistematis:

1. Menunda implementasi dengan alasan regulasi

Ketika Aceh ingin menjalankan MoU, pemerintah pusat sering berkata:
“Perlu dibahas lagi”, “Perlu disesuaikan dengan undang-undang nasional”.
Ini adalah trik klasik birokrasi untuk menunda tanpa menolak secara terang-terangan.

2. Mengendalikan Aceh melalui partai lokal yang diarahkan pusat

Partai lokal merupakan amanat MoU.
Namun di lapangan, banyak dinamika politik yang menunjukkan campur tangan pusat dalam mendesain fragmentasi internal Aceh agar suara rakyat terpecah.

3. Menggunakan isu keamanan untuk melemahkan hak Aceh

Setiap kali muncul tuntutan implementasi MoU, negara sering mengangkat isu “antisipasi separatisme”.
Padahal tuntutan itu justru merupakan bagian dari MoU yang sah.

4. Melemahkan kewenangan Aceh melalui regulasi turunan

Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang seharusnya menegaskan MoU justru diolah sehingga ada sejumlah bagian MoU yang tidak diterjemahkan ke dalam undang-undang.
Ini adalah rekayasa politik yang membuat MoU kehilangan taji.

MOU HELSINKI TERANCAM MENJADI DOKUMEN TANPA ARTI

Dua puluh tahun setelah damai ditandatangani, banyak rakyat Aceh merasa bahwa MoU hanya terpenuhi sebagian.
Yang berjalan hanyalah butir yang menguntungkan stabilitas pusat.
Sementara butir yang menyangkut martabat Aceh, identitas Aceh, ekonomi Aceh, dan keadilan Aceh justru terabaikan.

Jika tren pengingkaran ini terus berlanjut, maka MoU Helsinki tidak lagi menjadi pilar perdamaian, melainkan simbol kegagalan negara menghormati janji-janjinya sendiri.
Dan pengingkaran janji itulah yang sesungguhnya paling merusak kepercayaan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *