Kreatif! Ecoprint Sabang Ubah Daun Jadi Kain Berkualitas dan Berdaya Jual

Ilustrasi Foto : Net.
THE ATJEHNESE – SABANG – Siapa sangka, dedaunan yang berguguran di sekitar Pulau Weh bisa berubah menjadi karya seni bernilai ekonomi. Di tangan para perajin Ecoprint Sabang, daun-daun lokal disulap menjadi kain dan busana elegan yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga ramah lingkungan.
Ketua Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (IPMI) Kota Sabang, Erna Vivilinda, menceritakan bahwa Ecoprint Sabang lahir pada masa pandemi COVID-19 tahun 2021. Saat aktivitas masyarakat dibatasi, para ibu rumah tangga mencari kegiatan produktif tanpa harus keluar rumah. Dari situlah ide membuat kain ecoprint muncul.
“Saya belajar otodidak dulu, kemudian ikut kelas daring karena haus ilmu. Dari situ kita mulai memproduksi karya sendiri,” ujar Erna di rumah produksi Ecoprint Sabang, Senin (10/11/2025).
Kini, Ecoprint Sabang berkembang pesat. Di bawah naungan IPMI Kota Sabang, tercatat 20 perajin lokal telah memiliki merek masing-masing dan terus berinovasi. Mereka memproduksi hijab, kain, tas, hingga pakaian berbahan dasar ecoprint menggunakan pewarna alami dari tumbuhan sekitar.
“Ecoprint ini batik Go Green. Tidak ada bahan kimia yang digunakan. Pewarnaan diambil dari daun, batang, akar, bahkan buah. Semuanya alami,” jelas Erna sambil menunjukkan kain berwarna kuning kunyit dan merah keunguan.
Menurut Erna, pewarna alami seperti kunyit, batang secang, buah delima, hingga daun teh hijau menghasilkan warna lembut dan khas. Motif kain akan selalu berbeda karena mengikuti bentuk daun yang ditempel pada proses pengukusan.
Harga produk Ecoprint Sabang terbilang bersaing. Jika kain ecoprint di Pulau Jawa bisa mencapai jutaan rupiah, di Sabang dibanderol Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per dua meter. “Kualitasnya tidak kalah,” ujar Erna. Tak heran, produk mereka kini menjadi buruan wisatawan, termasuk dari Malaysia, yang mencari oleh-oleh khas Sabang.
Perkembangan Ecoprint Sabang juga mendapat dukungan dari Bank Indonesia. Bantuan berupa peralatan kukusan besar, penyimpanan daun segar, dan perlengkapan pewarna alami membuat produksi meningkat dari hanya 5 lembar menjadi 20–25 lembar kain per hari.
“Dulu kami produksi sedikit, tapi setelah dapat alat dari BI, prosesnya jadi lebih cepat dan efisien,” kata Erna.
Selain ramah lingkungan, kegiatan ini memberi dampak ekonomi bagi perempuan Sabang. Para perajin kini mandiri, memiliki pendapatan sendiri, dan mampu mengelola bisnis berbasis kearifan lokal. Produk mereka sudah dipasarkan di gerai Mata Ie Resort serta sejumlah titik wisata lain di Sabang.
Meski bahan baku berasal dari alam, prinsip kelestarian tetap dijaga. Erna menegaskan bahwa bahan dari pohon yang dilindungi, seperti akar bakau, tidak digunakan. “Kita ingin tetap menjaga lingkungan. Produk boleh kreatif, tapi alam harus tetap lestari,” tegasnya.
Proses pembuatan ecoprint memerlukan ketelitian. Kain direndam tawas semalam, kemudian dedaunan disusun rapi di atas kain. Setelah dikukus selama dua jam, kain didiamkan hingga tiga hari agar motif menempel sempurna sebelum akhirnya siap dijual.
Kini, Ecoprint Sabang bukan hanya sekadar kerajinan, tetapi simbol gaya hidup hijau yang terus tumbuh di Aceh. Dari dedaunan hutan Sabang, lahirlah karya bernilai seni dan ekonomi tinggi yang membuktikan bahwa produk lokal bisa bersaing di pasar luas.
“Harapan kami, lewat kunjungan para wartawan hari ini, produk Ecoprint Sabang bisa semakin dikenal dan dicintai, bukan hanya oleh masyarakat Aceh, tapi juga seluruh Indonesia,” pungkas Erna.
