Gelombang Penolakan Mahasiswa Menguat Soal Penobatan Tito Karnavian sebagai Petua Panglima Hukom

0

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerima gelar kehormatan (Sumber Foto: Dok.TitoKarnavianPage)

THE ATJEHNESE – Pelantikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai Petua Panglima Hukom Nanggroe oleh Wali Nanggroe Aceh menuai kritik tajam dari kalangan mahasiswa. Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (Himapol USK), Ahmad Sahibur Rayyan, menilai langkah tersebut tidak tepat secara politik dan berpotensi melukai kembali sensitivitas publik Aceh.

Menurut Rayyan, meski persoalan empat pulau yang sempat menjadi polemik antara Aceh dan pemerintah pusat kini telah selesai secara administratif, memori kolektif publik mengenai proses yang dianggap tidak transparan masih sangat kuat. Luka politik itu, katanya, belum sepenuhnya pulih.

“Benar, empat pulau itu kembali ke Aceh, dan rakyat bersyukur. Tapi ingatan masyarakat tentang bagaimana isu itu mengguncang rasa keadilan dan harga diri Aceh tidak hilang begitu saja,” ujar Rayyan di Banda Aceh, Rabu (12/11/2025).

Gelar Kehormatan Dinilai Tidak Sensitif Terhadap Perasaan Publik

Rayyan menilai pemberian gelar kehormatan kepada tokoh yang memiliki jabatan strategis dalam pemerintahan pusat justru dapat menimbulkan kesan bahwa lembaga Wali Nanggroe tidak peka terhadap dinamika perasaan masyarakat Aceh.

“Penobatan ini bisa ditafsirkan sebagai langkah yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial-politik Aceh saat ini. Lembaga adat mestinya menjaga jarak dari kepentingan kekuasaan, bukan berada di pusat simbolisme politik,” ujarnya.

Menurutnya, lembaga adat seperti Wali Nanggroe memiliki tanggung jawab moral yang besar sebagai penjaga martabat, hukum, dan tradisi Aceh. Karena itu, keputusan yang memiliki nilai simbolis tinggi seharusnya tidak menciptakan kontroversi baru.

Nilai Historis Panglima Hukôm Nanggroe Harus Dijaga

Gelar Petua Panglima Hukôm Nanggroe memiliki nilai historis yang kuat dalam tradisi Aceh. Jabatan ini bukan sekadar simbol kehormatan, melainkan representasi nilai moral, kepemimpinan adat, serta integritas hukum dalam masyarakat Aceh.

Rayyan menegaskan bahwa nilai historis tersebut tidak boleh dikaburkan oleh kepentingan politik jangka pendek.

“Jika gelar ini diberikan tanpa pertimbangan yang matang, maka maknanya bisa terkikis. Lembaga adat akan kehilangan wibawa jika terlalu mudah terseret dalam tarik-menarik kepentingan politik,” tegasnya.

Ia mengajak semua pihak, terutama para pemangku adat, agar menjadikan momen ini sebagai bahan introspeksi.

“Lembaga adat Aceh harus kembali pada fungsi dasarnya: menjaga keadilan, marwah, dan suara rakyat. Aceh tidak membutuhkan simbol kehormatan yang memecah, tetapi kepemimpinan moral yang menyatukan,” tutup Rayyan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *