Empat Desa di Nagan Raya Resmi Jadi Desa Binaan Ramah Iklim, Didorong Jaga Hutan dan Ekosistem Gambut

Foto: (Dokumen Apel Green Aceh).
THE ATJEHNESE – Yayasan APEL Green Aceh resmi memulai Program Penguatan Kapasitas Komunitas Lokal dan Masyarakat Adat di Kabupaten Nagan Raya. Program ini menempatkan empat desa sebagai percontohan “Desa Binaan Ramah Iklim” dengan fokus pada penguatan tata kelola hutan dan ekosistem gambut secara berkelanjutan. Peluncuran program diumumkan pada Kamis (13/11/2025).
Empat desa tersebut meliputi Blang Meurandeh dan Blang Puuk di Kecamatan Beutong Ateuh, Kreung Itam di Kecamatan Tadu Raya, dan Puloe Krut di Kecamatan Darul Makmur. Keempatnya berada di kawasan strategis Rawa Tripa, salah satu ekosistem gambut terpenting di pantai barat Sumatra yang telah lama menjadi perhatian dunia terkait isu perubahan iklim.
Direktur Eksekutif APEL Green Aceh, Rahmad Syukur, menjelaskan bahwa program ini berupaya menghidupkan kembali nilai-nilai adat dalam menjaga hutan. Salah satu praktik tradisi yang kembali diperkuat adalah peran Pawang Uteun, figur adat yang selama ratusan tahun dipercaya menjaga hutan dan mengatur ruang kelola masyarakat.
“Dalam pandangan masyarakat Aceh, hutan adalah amanah dari Allah yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya. Program ini ingin mengembalikan nilai itu sebagai pondasi restorasi ekologis dan keadilan iklim,” ujar Rahmad.
Peran Masyarakat Adat Jadi Fokus Utama Hingga 2030
Rahmad menjelaskan, program ini didukung oleh lembaga internasional Rettet den Regenwald e.V. dan dirancang untuk berjalan hingga tahun 2030. Fokus utamanya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat adat dalam tata kelola hutan, perlindungan kawasan gambut, serta penjagaan danau-danau penting di wilayah tersebut.
Berbagai kegiatan akan digelar, mulai dari analisis kebutuhan komunitas, pelatihan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, hingga pendampingan teknis jangka panjang. Program ini juga mendorong pengembangan ekonomi hijau berbasis sumber daya lokal seperti minyak kembiri, tanaman herbal, serta kerajinan berbahan alami.
“Pawang Uteun, perempuan adat, dan generasi muda desa akan menjadi tiga pilar utama program. Mereka yang selama ini hidup berdampingan dengan hutan adalah penjaga paling efektif dalam melindungi ekosistem,” tambah Rahmad.
Dukungan untuk Target FOLU Net Sink dan Kebijakan Daerah
Selain memperkuat kemandirian komunitas lokal, program ini juga dirancang untuk mendukung komitmen Indonesia mencapai target FOLU Net Sink 2030—yakni menurunkan emisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan. Program ini juga sejalan dengan arah pembangunan Nagan Raya dalam RPJMD 2023–2028, yang menekankan ekonomi hijau dan pelestarian lingkungan.
Rahmad menegaskan bahwa Nagan Raya memiliki beberapa kawasan ekosistem yang saling berkaitan: hutan primer, lahan gambut, dan danau. Ketiga elemen ini, katanya, berada dalam satu kesatuan yang jika rusak pada salah satunya, akan mengancam keberlanjutan wilayah tersebut.
“Menjaga keseimbangan ekosistem di Nagan Raya berarti menjaga masa depan Aceh. Program ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga tentang memastikan ruang hidup masyarakat adat tetap lestari,” kata Rahmad Syukur menutup keterangannya.
