Benny K. Harman Dikritik: Tak Paham Sejarah Aceh tapi Kritik Dana Otsus?

Benny K. Harman Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat ketika menyampaikan pendapat dalam RDPU DPR RI tentang Masa depan kewenangan khusus Aceh melalui Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). RDPU digelar Baleg DPR RI di Gedung Nusantara I, Komplek DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (12/11/2025). (Foto:dok.YouTube TV Parlemen).
THE ATJEHNESE – Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, memunculkan perdebatan tajam dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait penyusunan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam forum tersebut, ia menyoroti akuntabilitas pemanfaatan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang telah berlangsung selama dua puluh tahun.
Benny mengungkapkan bahwa setiap permintaan perpanjangan dana Otsus kerap dikaitkan dengan sejarah perdamaian Helsinki 2005. Menurutnya, narasi tersebut sudah terlalu sering digunakan. “Saya mohon maaf, jangan sedikit-sedikit Helsinki. Dua puluh tahun ini bikin apa? Jangan terus menerus dibawa Helsinki. Itu luka lama kita bersama,” kata Benny dalam nada kritik.
Pernyataan ini menuai reaksi dari sejumlah pihak yang menilai ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Aceh memiliki histori khusus dalam perjalanan republik, termasuk konflik bersenjata puluhan tahun dan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Banyak kalangan berpendapat bahwa tidak pantas seorang Benny yang tidak memahami latar historis Aceh secara mendalam kemudian menyampaikan argumentasi yang dianggap menyesatkan dan mengabaikan konteks sejarah tersebut. Mereka menilai bahwa hasil kekayaan alam Aceh yang selama ini mengalir ke pusat sangat besar bila dihitung secara menyeluruh, sehingga pembahasan mengenai Otsus tidak bisa dilepaskan dari dimensi historis dan keadilan ekonomi.
- Bahaya Arah Revisi UUPA yang Menjurus pada Federalisme
Dalam RDPU yang berlangsung di ruang rapat Baleg DPR RI, Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (12/11/2025), Benny juga menyinggung kekhawatiran bahwa revisi UUPA dapat ditafsirkan sebagai langkah menuju bentuk negara federal. Ia meminta agar proses legislasi tetap berada dalam koridor NKRI. “Jangan sampai kita ke arah negara federal. Itu yang harus kita hindari,” ujarnya.
Meski demikian, Benny menegaskan bahwa ia tidak menolak keberlanjutan dana Otsus. Hanya saja, ia menilai perpanjangan tersebut harus dilakukan melalui mekanisme yang ketat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Tuntutan Evaluasi Menyeluruh Dana Otsus
Menurut Benny, skala anggaran yang telah diberikan kepada Aceh sejak 2005 memerlukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan dana tersebut benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Ia menekankan bahwa efektivitas penggunaan anggaran seharusnya dapat dibuktikan secara objektif.
“Dua puluh tahun dana besar mengalir ke Aceh. Efektivitas dan transparansi harus benar-benar menjadi perhatian utama,” tambahnya.
- Empat Tokoh Aceh Hadir Memberi Perspektif
RDPU tersebut menghadirkan empat tokoh Aceh sebagai narasumber, baik dari perantauan maupun dari Aceh sendiri. Mereka adalah:
- Andi H. Sinulingga, kader senior Partai Golkar
- Mustafa Abubakar, mantan Penjabat Gubernur Aceh
- Amrizal J. Prang, akademisi sekaligus mantan Kepala Biro Hukum Setdaprov Aceh
- Munawar Liza Zainal, intelektual GAM dan mantan Wali Kota Sabang
Keempatnya memberikan pandangan mendalam tentang hubungan pusat–daerah, kewenangan kekhususan Aceh, serta perlunya desain baru tata kelola Otsus yang lebih berpihak pada masyarakat.
- Pembahasan UUPA dan Otsus Jadi Sorotan Nasional
RDPU ini merupakan bagian dari proses panjang Baleg DPR untuk menjaring masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Masa depan Dana Otsus serta kewenangan khusus Aceh menjadi salah satu isu yang menyita perhatian publik nasional, mengingat posisinya yang strategis dalam kerangka pemerintahan daerah dan keadilan fiskal.
Proses revisi UUPA diperkirakan akan terus melibatkan diskusi intens antara pemerintah pusat, DPR, tokoh masyarakat Aceh, dan pihak akademik. Bagi banyak pihak, revisi ini bukan hanya soal regulasi, tetapi juga soal penghargaan terhadap sejarah Aceh, kontribusinya terhadap republik, dan keadilan bagi masyarakatnya di masa kini dan mendatang.
