Banjir Bandang Menghantam Aceh, Ujian Berat bagi Negeri yang Pernah Berdaulat

0

Satu di antara lokasi banjir yang terjadi di Provinsi Aceh, baru-baru ini (Foto: BPBD Aceh)

THE ATJEHNESE – Gelombang bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang berbagai wilayah di Sumatra, termasuk Aceh, kembali membuka mata publik tentang rapuhnya benteng alam yang dulu menjadi perisai bagi masyarakat di Tanah Rencong. Hujan ekstrem yang mengguyur selama berhari-hari sejak 24 November 2025 memaksa sungai-sungai tua meluap, menggulung permukiman, dan meratakan lereng perbukitan yang telah kehilangan penyangga alaminya. Ratusan desa porak-poranda, fasilitas umum lumpuh, sementara ribuan keluarga terpaksa mengungsi tanpa kepastian kapan hidup mereka kembali pulih.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa sepanjang Januari–November 2025 saja, Indonesia sudah mencatat 2.726 bencana hidrometeorologi, sebuah indikator nyata bahwa degradasi lingkungan kini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Dalam kunjungannya, Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menyebut kerusakan yang ia saksikan secara langsung di berbagai titik Sumatra sebagai “salah satu yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir.”

Data terbaru menunjukkan 631 korban jiwa telah meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor di Sumatra dan Aceh. Sumatra Utara kehilangan 293 warga, Sumatra Barat 165 warga, dan Aceh 173 warga. Ribuan rumah hanyut, jembatan runtuh, sekolah dan puskesmas tidak dapat difungsikan, sementara jalur transportasi terputus total. Banyak wilayah masih terisolasi tanpa listrik, komunikasi, maupun akses logistik.

Namun pakar dan pemerhati lingkungan menegaskan bahwa cuaca ekstrem hanya pemicu. Bencana sebesar ini tidak akan sebrutal jika benteng hutan di hulu masih berdiri kokoh seperti beberapa dekade silam. Kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), pembalakan liar, dan perambahan massif telah menghilangkan daya serap tanah dan kemampuan hutan menahan limpasan air. Hilangnya tutupan vegetasi membuat air hujan langsung meluncur deras ke hilir, menghantam desa-desa dengan kekuatan tak tertahan.

Akibatnya, banjir bandang tahun ini menjadi pelajaran pahit yang menunjukkan betapa seriusnya harga yang harus dibayar ketika keseimbangan antara manusia dan alam diabaikan. Para ahli menegaskan bahwa perbaikan tata ruang, penguatan mitigasi, penghentian pembabatan hutan, dan peningkatan kesadaran ekologis adalah langkah mutlak yang tidak dapat lagi ditunda.

Di tengah duka ini, masyarakat Aceh merenungi pesan moral yang datang bersama bencana. Negeri Aceh yang dahulu berdaulat, gagah berdiri dengan kekuatan marwah dan adat yang dijunjung tinggi, kini diuji berulang kali oleh musibah besar. Banyak tokoh agama dan masyarakat menilai bahwa ini adalah momentum bagi rakyat Aceh untuk melakukan introspeksi mendalam, mengkaji kembali kesalahan, kelalaian, dan dosa sosial yang mungkin menjadi sebab hilangnya keberkahan di tanah ini. Mereka percaya, ketika rakyat Atjeh berbenah diri, mengembalikan hubungan dengan alam dan Sang Pencipta, Allah akan mengangkat derajat negeri ini, memberi kekuatan baru, dan memulihkan kemampuan Aceh untuk mengatur dirinya dengan lebih bermartabat sebagaimana masa silam.

Bencana kali ini bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah peringatan keras, sekaligus kesempatan bagi masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola lingkungan, menata ulang ruang hidup, dan menghentikan praktik eksploitasi yang merusak bumi. Hanya dengan kehati-hatian dan kebijaksanaan, Sumatra terutama Aceh dapat bangkit dan melindungi generasi mendatang dari ancaman yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *