27.496 Infrastruktur Aceh Utara Rusak berat, Minimnya Respons Pemerintah Pusat

Pihak elemen terkait evakuasi jenazah di Aceh Utara (Dok/BNPB)
THE ATJEHNESE – Bencana banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Kabupaten Aceh Utara sejak 22 November 2025 terus menyisakan luka yang dalam. Sepekan lebih berlalu, jejak kehancuran masih terlihat di setiap sudut wilayah. Hingga Jumat (5/12/2025), angka korban belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sedikitnya 102 warga tercatat masih hilang, sementara 126 orang ditemukan meninggal dunia, sebagian besar korban terseret arus saat banjir menerjang tanpa memberi kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Data sementara dari pemerintah daerah menunjukkan skala kerusakan yang nyaris tak tertandingi. Sebanyak 27.496 unit rumah rusak, terdiri dari 728 unit hanyut, 11.236 rusak berat, 4.991 rusak sedang, dan 10.617 rusak ringan. Angka itu diperkirakan masih akan bertambah mengingat proses pendataan di lapangan belum sepenuhnya rampung. Sejumlah kecamatan seperti Tanah Pasir, Syamtalira Aron, Tanah Luas, Baktiya, hingga Nisam Antara masih menghadapi hambatan akses, membuat pendataan berlangsung lebih lambat.
Bupati Aceh Utara, Ismail A. Jalil (Ayahwa), menyampaikan bahwa tim gabungan terus bekerja siang dan malam menembus daerah yang belum tersentuh bantuan. “Akses darat banyak yang terputus, kendaraan tidak bisa masuk. Kami memperbarui data setiap hari dan melaporkannya langsung ke BNPB,” ujarnya. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa berbagai wilayah masih terisolasi dan belum pernah tersentuh personel penyelamat sejak hari pertama bencana.
Tidak hanya permukiman warga, ratusan fasilitas umum juga lenyap dihantam banjir: puskesmas lumpuh total, irigasi jebol, jembatan penghubung desa terputus, rumah ibadah roboh, dan sekolah-sekolah tidak lagi dapat difungsikan. Ribuan warga terpaksa mencari perlindungan sementara di titik-titik pengungsian yang tersebar, meski sarana dan prasarana sangat minim. Para pengungsi kini menghadapi ancaman penyakit, keterbatasan logistik, dan kondisi psikologis yang semakin memburuk.
Kebutuhan mendesak warga meliputi terpal, obat-obatan, air bersih, bahan makanan, pakaian hangat, serta alat berat untuk menyingkirkan tumpukan lumpur dan puing bangunan. Di beberapa kecamatan, warga bertahan hidup dengan memanfaatkan sisa-sisa bahan pangan yang masih bisa ditemukan, sebab akses distribusi bantuan masih belum stabil.
Di tengah penderitaan panjang yang dialami masyarakat Aceh Utara, muncul suara-suara kritis terkait minimnya perhatian dari pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah pusat memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepada Aceh, mengingat skala bencana ini termasuk yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir di Tanah Rencong. Banyak warga menilai bahwa respon yang diberikan belum sepadan dengan tingkat kerusakan yang terjadi.
Lebih jauh, masyarakat juga berharap agar pascabencana ini pemerintah pusat segera menyiapkan program bantuan rumah layak huni bagi seluruh warga terdampak. Dengan lebih dari 27 ribu rumah rusak, Aceh Utara tidak akan mampu bangkit tanpa dukungan penuh dari negara. Harapan untuk kembali membangun kehidupan yang layak kini menggantung pada keseriusan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnya.
Sementara tim penyelamat terus berjibaku di lapangan, Aceh Utara masih mencoba bangkit dari duka yang seolah tidak berujung. Bencana ini bukan hanya menguji ketangguhan masyarakat Aceh, tetapi juga menuntut kehadiran nyata negara untuk memastikan bahwa setiap warga yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan tidak dibiarkan berjuang sendirian.
